METODOLOGI PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN
Metodologi dan Metode Penelitian
OLEH
Dr. Ir. DIDIK SUHARJITO, MS
(DOSEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN IPB BOGOR)
Metodologi adalah suatu model, yang berisi prinsip teoretis maupun kerangka kerja yang memberikan pedoman tentang bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks paradigma tertentu. Metode menunjuk pada peralatan atau instrumen yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data/informasi empiris: wawancara, dll.
KLIK DOWNLOAD UNTUK MEMPEROLEH POWERPOINT
PENANAMAN POHON vs PENGELOLAAN HUTAN
PENANAMAN POHON VS PENGELOLAAN HUTAN
Oleh :
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS
Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS
Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Menanam pohon, baik sebagai upaya untuk membangun hutan baru dari yang tadinya lahan kosong dengan peruntukan bukan untuk kawasan hutan maupun untuk mempermudakan kembali tegakan hutan pada lahan kosong atau memiliki kerapatan pohon yang rendah akibat pemanenan yang peruntukannya kawasan hutan, seluruhnya merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi tidak setiap kegiatan penanaman pohon dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan, oleh karena penanaman pohon dapat saja dilakukan pada lahan yang dikelola dengan skema pengelolaan yang tidak memiliki dua sifat unik pengelolaan hutan seperti diutarakan di muka. Sungguhpun demikian, penanaman pohon baik dalam rangka pengelolaan hutan maupun tidak dalam rangka pengelolaan hutan, seluruhnya termasuk ke dalam penanaman pohon dalam rangka pembangunan hutan secara umum.
Luas hutan nyata yang terdapat pada suatu wilayah pada suatu waktu tertentu adalah luas hutan hasil pembangunan hutan secara umum. Luas hutan nyata inilah sebenarnya yang akan secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan kualitas lingkungan dari wilayah tersebut. Luas hutan nyata yang terdapat dalam suatu wilayah pengelolaan hutan (propinsi atau kabupaten/kota) pada suatu waktu tertentu (L, dalam hektar, ha) dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :L = L1 + L2
di mana : L1 = luas hutan pada areal yang dikelola dengan skema pengelolaan hutan (ha)
L2 = luas hutan pada areal yang dikelola tidak dengan skema pengelolaan hutan (ha)
Persamaan L di muka mengandung arti bahwa di manapun kita menanam pohon, termasuk di dalam areal yang dikelola tidak dengan skema pengelolaan hutan (L2), akan dapat mengakibatkan bertambah besarnya L yang pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kualitas lingkungan dilihat dari segi luas hutan yang tersedia di dalam wilayah pengelolaan hutan tersebut. Akan tetapi perubahan nilai L2 yang lazimnya berupa pengurangan, akan sangat cepat oleh karena proses pembentukan hutan pada areal initidak dirancang untuk berkelanjutan (pengulangan yang tidak berhingga).
Klik DOWNLOAD untuk Unduh Full Paper
Selasa, 14 Desember 2010
SUMMARY COP16 CANCUN MEXICO
Email: Pak Aziz Khan dalam Milist IPH IPB
Upaya untuk menegosiasikan nilai dan mekanisme pembayaran/kompensasi atas jasa serapan emisi gas rumah kaca oleh hutan dan sink lainnya terus berlangsung. COP 16 memutuskan untuk meneruskan upaya ini meliputi pembahasan mendalam tentang unsur-unsur utama BAP (Bali Action Plan), yaitu: sebuah visi bersama untukkerjasama jangka panjang ; adaptasi, mitigasi, keuangan, teknologi, dankapasitas bangunan. Keputusan juga meminta AWG-LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the UNFCCC)untuk melanjutkan di tahun 2011 untuk melaksanakan usaha yang terkandung dalam keputusan dan juga terus membahas pilihan hukumdengan tujuan menyelesaikan hasil yang disepakati berdasarkan BAP.
AWGLCA telah diminta untuk menyajikan hasil untuk adopsi di COP17. Keputusan 1/CMP.6 mencerminkan hasil pekerjaan dilakukan olehAWG-KP. Ia setuju untuk terus bekerja di bawah
AWG-KP dan memiliki hasil yang mengadopsi "sedini mungkin" untukmenghindari kesenjangan antara komitmen pertama dan keduaperiode. Ia juga mencatat janji Annex 1 untuk meningkatkan ekonomimelalui target pengurangan emisi dan mendesak mereka untukmeningkatkan tingkat pelaksanaan penurunan emisi. Keputusan lebih lanjut menunjukkan bahwa perdagangan emisi dan mekanismefleksibilitas berbasis proyek akan terus tersedia, bersama denganlangkah-langkah yang berhubungan dengan LULUCF.
Pekerjaan lebih lanjut AWG-KP akan didasarkan pada teks-teks yang terkandung dalam draft FCCC/KP/AWG/CRP.4/Rev.4"
Petikan di atas merupakan kesepakatan CANCUN..Klik DISINI UntukDOWNLOAD
Thanks...
SUMMARY OF CANCUN CLIMATE CHANGE CONFERENCE
(EARTH NEGOTIATIONS BULLETINS)
AWGLCA telah diminta untuk menyajikan hasil untuk adopsi di COP17. Keputusan 1/CMP.6 mencerminkan hasil pekerjaan dilakukan olehAWG-KP. Ia setuju untuk terus bekerja di bawah
AWG-KP dan memiliki hasil yang mengadopsi "sedini mungkin" untukmenghindari kesenjangan antara komitmen pertama dan keduaperiode. Ia juga mencatat janji Annex 1 untuk meningkatkan ekonomimelalui target pengurangan emisi dan mendesak mereka untukmeningkatkan tingkat pelaksanaan penurunan emisi. Keputusan lebih lanjut menunjukkan bahwa perdagangan emisi dan mekanismefleksibilitas berbasis proyek akan terus tersedia, bersama denganlangkah-langkah yang berhubungan dengan LULUCF.
Pekerjaan lebih lanjut AWG-KP akan didasarkan pada teks-teks yang terkandung dalam draft FCCC/KP/AWG/CRP.4/Rev.4"
Petikan di atas merupakan kesepakatan CANCUN..Klik DISINI UntukDOWNLOAD
Thanks...
Senin, 13 Desember 2010
REDD DAN AKAL PIKIRAN KITA
Dimuat dalam Buletin Intip Hutan, Mei 2010
REDD dan Akal Pikir Kita
Hariadi Kartodihardjo
Hariadi Kartodihardjo
Kebijakan dan kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu dipengaruhi oleh hasil-hasil pertemuan internasional atau ide dari lembaga-lembaga donor, misalnya dikembangkannya sertifikasi hutan, perhutanan sosial, program kehutanan multipihak, konservasi hutan yang bernilai tinggi, pemberantasan illegal logging, sertifikasi legalitas kayu, serta pengurangan emisi gas rumah kaca dari pengurangan kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Berbagai inisiatif tersebut seolah-olah telah menjadi arus utama pembangunan kehutanan selama ini. Ide-ide pembaruan lainnya, terutama yang digagas oleh pemerintah dan konstituen lokalnya, tidak pernah menjadi percaturan pembicaraan kehutanan secara nasional, misalnya pengembangan silvikultur intensif, hutan tanaman untuk rakyat, maupun pembangunan organisasi pengelolaan hutan (KPH) di tingkat tapak/lapangan. Termasuk gagasan mengenai penyelesaian masalah-masalah hak dan akses atas kawasan hutan negara, tidak pernah menjadi prioritas nyata dalam pembangunan kehutanan.
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa “fakta kehutanan” yang sama, difahami dengan cara yang berbeda-beda dan kemudian dicari masalah dan ditetapkan cara menyelesaikan masalahnya. Maka, setiap orang atau lembaga memberi gagasan yang berbeda-beda atas masalah yang berbeda-beda pula. Kemudian mereka mengusung gagasannya itu melalui berbagai jaringan internasional dan nasional untuk mendapat legitimasi. Dengan lambatnya penyelesaian persoalan-persoalan kehutanan –yang ditunjukkan oleh rendahnya pelaksanaan ide-ide di atas hingga saat ini– kemungkinan yang terjadi bahwa program yang sudah tepat tidak mendapat sumberdaya cukup untuk dijalankan dan dikembangkan, sedangkan program yang tidak tepat mendapat dukungan secara memadai. Alasan lainnya, seluruh program di atas berupa potongan tertentu, sedangkan potongan lainnya tidak mendapat sentuhan apa-apa. Misalnya, setelah unit usaha kehutanan disertifikasi, tidak juga ada program untuk memperbaiki kinerjanya, ketika diketahui perolehan nilainya buruk.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, memahami fakta kehutanan tidaklah semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang: baik para birokrat, pelaku ekonomi kehutanan, juga para akademisi dan LSM, termasuk ahli-ahli asing yang banyak berdatangan ke Indonesia. Pada umumnya kehutanan dibaca secara parsial, kemudian dari situ dikenali sebab akibat yang kemudian menjadi dasar asumsi mengenai kehutanan, ditelusuri masalah yang kemungkinan itu hanya sebagai anggapan tentang masalah atau bukan masalah yang sebenarnya, kemudian ditentukan program dan kegiatan untuk menyelesaikan “masalah” itu. Seperti menjawab pertanyaan yang keliru. Bukankah REDD terjebak dalam situasi seperti itu?
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa “fakta kehutanan” yang sama, difahami dengan cara yang berbeda-beda dan kemudian dicari masalah dan ditetapkan cara menyelesaikan masalahnya. Maka, setiap orang atau lembaga memberi gagasan yang berbeda-beda atas masalah yang berbeda-beda pula. Kemudian mereka mengusung gagasannya itu melalui berbagai jaringan internasional dan nasional untuk mendapat legitimasi. Dengan lambatnya penyelesaian persoalan-persoalan kehutanan –yang ditunjukkan oleh rendahnya pelaksanaan ide-ide di atas hingga saat ini– kemungkinan yang terjadi bahwa program yang sudah tepat tidak mendapat sumberdaya cukup untuk dijalankan dan dikembangkan, sedangkan program yang tidak tepat mendapat dukungan secara memadai. Alasan lainnya, seluruh program di atas berupa potongan tertentu, sedangkan potongan lainnya tidak mendapat sentuhan apa-apa. Misalnya, setelah unit usaha kehutanan disertifikasi, tidak juga ada program untuk memperbaiki kinerjanya, ketika diketahui perolehan nilainya buruk.
Berdasarkan kenyataan seperti itu, memahami fakta kehutanan tidaklah semudah seperti yang diucapkan oleh banyak orang: baik para birokrat, pelaku ekonomi kehutanan, juga para akademisi dan LSM, termasuk ahli-ahli asing yang banyak berdatangan ke Indonesia. Pada umumnya kehutanan dibaca secara parsial, kemudian dari situ dikenali sebab akibat yang kemudian menjadi dasar asumsi mengenai kehutanan, ditelusuri masalah yang kemungkinan itu hanya sebagai anggapan tentang masalah atau bukan masalah yang sebenarnya, kemudian ditentukan program dan kegiatan untuk menyelesaikan “masalah” itu. Seperti menjawab pertanyaan yang keliru. Bukankah REDD terjebak dalam situasi seperti itu?
Apabila REDD diletakkan dalam sistem pengelolaan hutan nasional, nampak REDD bukanlah program yang memberikan solusi secara langsung atas persoalan kehutanan. REDD yang diletakkan pemerintah dalam kerangka ijin, sebagaimana pelaksanaan bentuk ijin-ijin lainnya, terbentur oleh mahalnya transaksi untuk mendapat ijin dan pelaksanaan ijin, kemungkinan konflik lahan, serta hambatan hubungan dengan masyarakat yang harus dilakukannya. Apabila REDD berbentuk ijin bagi masyarakat lokal –dengan bercermin pada pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Industri, dan Hutan Desa– pada umumnya Pemerintah mendukung secara politik, tetapi kebanyakan Pemerintah Daerah berbuat sebaliknya, serta tidak mendapat sumberdaya cukup dalam implementasinya. Oleh karena itu, dalam konteks sistem pengelolaan hutan nasional bukan REDD yang harus diperdebatkan, namun berbagai syarat agar REDD dapat berjalan yang perlu dicari solusinya.
Bukankah REDD dapat mendatangkan dana dari luar dana pemerintah yang semakin langka? Persoalan dana inipun bukan menjadi yang terpenting, ketika diketahui bahwa –sebagai analogi– dana untuk rehabilitasi hutan yang telah digunakan trilyunan rupiah, juga tidak banyak membawa hasil. Terkait dengan persoalan ini, semestinya dana pemerintah bukan untuk melaksanakan rehabilitasi, tetapi untuk memecahkan persoalan rehabilitasi. Sebagaimana kesiapan (readiness) pelaksanaan REDD oleh pemerintah tentu bukan sekedar dokumen, melainkan segenap rencana dan pengorganisasiannya. Apabila organisasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah status quo, padahal tantangan penyelesaian masalahnya berbeda, dapat diduga kepentingan ini lebih banyak menjadi perhatian secara administratif, bukan berbasis perbaikan kinerja di lapangan.
Namun demikian, apabila REDD diletakkan sebagai bagian dari kasus penyelesaian masalah, dapat diharapkan mempunyai daya guna, sepanjang penanganan kasus tersebut sejalan dengan persoalan-persoalan di lapangan yang sedang dihadapi. Kebijakan dan berbagai kegiatan taktis di lapangan, meskipun dapat tidak didukung sepenuhnya oleh peraturan-perundangan, seringkali justru menjadi harapan banyak pihak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kenyataan demikian itu banyak dijumpai, sebagai akibat penetapan peraturan-perundangan itu sendiri yang sangat parsial dan lebih memenuhi proses administrasi kewenangan pemerintahan daripada memberi jalan berusaha bagi masyarakat. Hal demikian itu biasa disebut sebagai “logis tidak terpakai”, yakni pendekatan deduksi yang tidak pernah diuji kebenarannya dan dianggap sebagai pendekatan sahih, akibat hubungan-hubungan struktural dalam memproduksinya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang cenderung tunduk pada suara yang lebih keras atau pada kekuasaan yang lebih tinggi daripada tunduk pada akal sehat.
Berangkat dari berbagai ide pembaruan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan kehutanan di lapangan, termasuk REDD, nampak berakhir pada suatu solusi bahwa ide itu tidak dapat
memenuhi harapan untuk memperbaiki sistem kehutanan secara mendasar. Ia akan berguna pada konteks dan situasi tertentu, sebagaimana pelaksanaan sertifikasi unit usaha kehutanan, pemberantasan illegal logging dan lain-lain speerti disebutkan di atas. Pelaksanaan sertifikasi mau-tidak mau mengukuhkan sistem kehutanan yang sedang berjalan beserta ketidak-adilannya, namun dalam konteks tertentu –seperti yang telah dilakukan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia– dapat diarahkan sebagai dasar pengukuhan keberadaan hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Juga demikian halnya, bahwa pemberantasan illegal logging tidak seluruhnya menghukum kejahatan kehutanan jika kebijakan itu berakhir dengan menghukum sekelompok orang yang tinggal di hutan yang by design tidak pernah diberi kesempatan ikut memanfaatkan sumberdaya hutan. Hal-hal seperti itu membawa implikasi baik bagi pelaksanaan politik kehutanan, perdebatan akademis pelestarian hutan maupun advokasi kebijakan kehutanan.
Bagi politik kehutanan perlu diarahkan untuk terus-menerus memperbaiki kebijakan kehutanan secara fundamental, baik menyangkut kepastian kawasan hutan maupun tata kepemerintahan kehutanan. Kedua agenda itu disamping terkait wujud keadilan manfaat sumberdaya hutan juga efisiensi penyelenggaraannya. Bagi perdebatan akademis pelestarian hutan, menunjukkan bahwa aliran klasik pelestarian hutan yang cukup dilakukan dengan mengatur jumlah hasil hutan yang dipanen sesuai dengan kemampuan hutan untuk tumbuh, secara empiris tidak lagi memenuhi harapan. Kata “lestari” tidak lagi dapat diletakkan dalam lingkaran sistem biologi di dalam hutan karena sistem sosial-ekonomi-politik secara nyata telah mengambil peran. Oleh karenanya, perlu ada perubahan cara memandang hutan dari apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Bagi advokasi kebijakan kehutanan perlu dipelajari kerangka pikir (policy narrative) yang dewasa ini berkembang dalam pembuatan kebijakan, yang pada umumnya telah cukup basi untuk tetap dipergunakan. Para pembaharu kebijakan ditantang untuk dapat menyajikan argumen mengapa tidak lagi dapat melihat kehutanan dengan cara pandang lama; mengapa bergayut pada peraturan-perundangan yang ada saat ini semata, semakin jauh dari realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Diharapkan di masa depan, pembaharuan kebijakan kehutanan bukanlah gerakan glamour di permukaan yang hanya menampilkan representasi kepentingan tanpa ada substansi mendasar yang diperjuangkannya. Barangkali tidak perlu menunggu setelah REDD ini ada apalagi, sebagaimana berbagai pengaruh terus mengalir dari waktu ke waktu. Para pemangku kepentingan kehutanan ditantang untuk dapat melihat kenyataan di lapangan dengan berbagai sudut pandang secara memadai. Kerusakan dan ketidak-adilan kehutanan mungkin hanyalah simbolis belaka dari kerusakan dan ketidak-adilan yang sebenarnya di dalam akal pikir kita ■
Bukankah REDD dapat mendatangkan dana dari luar dana pemerintah yang semakin langka? Persoalan dana inipun bukan menjadi yang terpenting, ketika diketahui bahwa –sebagai analogi– dana untuk rehabilitasi hutan yang telah digunakan trilyunan rupiah, juga tidak banyak membawa hasil. Terkait dengan persoalan ini, semestinya dana pemerintah bukan untuk melaksanakan rehabilitasi, tetapi untuk memecahkan persoalan rehabilitasi. Sebagaimana kesiapan (readiness) pelaksanaan REDD oleh pemerintah tentu bukan sekedar dokumen, melainkan segenap rencana dan pengorganisasiannya. Apabila organisasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah status quo, padahal tantangan penyelesaian masalahnya berbeda, dapat diduga kepentingan ini lebih banyak menjadi perhatian secara administratif, bukan berbasis perbaikan kinerja di lapangan.
Namun demikian, apabila REDD diletakkan sebagai bagian dari kasus penyelesaian masalah, dapat diharapkan mempunyai daya guna, sepanjang penanganan kasus tersebut sejalan dengan persoalan-persoalan di lapangan yang sedang dihadapi. Kebijakan dan berbagai kegiatan taktis di lapangan, meskipun dapat tidak didukung sepenuhnya oleh peraturan-perundangan, seringkali justru menjadi harapan banyak pihak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kenyataan demikian itu banyak dijumpai, sebagai akibat penetapan peraturan-perundangan itu sendiri yang sangat parsial dan lebih memenuhi proses administrasi kewenangan pemerintahan daripada memberi jalan berusaha bagi masyarakat. Hal demikian itu biasa disebut sebagai “logis tidak terpakai”, yakni pendekatan deduksi yang tidak pernah diuji kebenarannya dan dianggap sebagai pendekatan sahih, akibat hubungan-hubungan struktural dalam memproduksinya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang cenderung tunduk pada suara yang lebih keras atau pada kekuasaan yang lebih tinggi daripada tunduk pada akal sehat.
Berangkat dari berbagai ide pembaruan kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan kehutanan di lapangan, termasuk REDD, nampak berakhir pada suatu solusi bahwa ide itu tidak dapat
memenuhi harapan untuk memperbaiki sistem kehutanan secara mendasar. Ia akan berguna pada konteks dan situasi tertentu, sebagaimana pelaksanaan sertifikasi unit usaha kehutanan, pemberantasan illegal logging dan lain-lain speerti disebutkan di atas. Pelaksanaan sertifikasi mau-tidak mau mengukuhkan sistem kehutanan yang sedang berjalan beserta ketidak-adilannya, namun dalam konteks tertentu –seperti yang telah dilakukan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia– dapat diarahkan sebagai dasar pengukuhan keberadaan hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Juga demikian halnya, bahwa pemberantasan illegal logging tidak seluruhnya menghukum kejahatan kehutanan jika kebijakan itu berakhir dengan menghukum sekelompok orang yang tinggal di hutan yang by design tidak pernah diberi kesempatan ikut memanfaatkan sumberdaya hutan. Hal-hal seperti itu membawa implikasi baik bagi pelaksanaan politik kehutanan, perdebatan akademis pelestarian hutan maupun advokasi kebijakan kehutanan.
Bagi politik kehutanan perlu diarahkan untuk terus-menerus memperbaiki kebijakan kehutanan secara fundamental, baik menyangkut kepastian kawasan hutan maupun tata kepemerintahan kehutanan. Kedua agenda itu disamping terkait wujud keadilan manfaat sumberdaya hutan juga efisiensi penyelenggaraannya. Bagi perdebatan akademis pelestarian hutan, menunjukkan bahwa aliran klasik pelestarian hutan yang cukup dilakukan dengan mengatur jumlah hasil hutan yang dipanen sesuai dengan kemampuan hutan untuk tumbuh, secara empiris tidak lagi memenuhi harapan. Kata “lestari” tidak lagi dapat diletakkan dalam lingkaran sistem biologi di dalam hutan karena sistem sosial-ekonomi-politik secara nyata telah mengambil peran. Oleh karenanya, perlu ada perubahan cara memandang hutan dari apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Bagi advokasi kebijakan kehutanan perlu dipelajari kerangka pikir (policy narrative) yang dewasa ini berkembang dalam pembuatan kebijakan, yang pada umumnya telah cukup basi untuk tetap dipergunakan. Para pembaharu kebijakan ditantang untuk dapat menyajikan argumen mengapa tidak lagi dapat melihat kehutanan dengan cara pandang lama; mengapa bergayut pada peraturan-perundangan yang ada saat ini semata, semakin jauh dari realitas yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Diharapkan di masa depan, pembaharuan kebijakan kehutanan bukanlah gerakan glamour di permukaan yang hanya menampilkan representasi kepentingan tanpa ada substansi mendasar yang diperjuangkannya. Barangkali tidak perlu menunggu setelah REDD ini ada apalagi, sebagaimana berbagai pengaruh terus mengalir dari waktu ke waktu. Para pemangku kepentingan kehutanan ditantang untuk dapat melihat kenyataan di lapangan dengan berbagai sudut pandang secara memadai. Kerusakan dan ketidak-adilan kehutanan mungkin hanyalah simbolis belaka dari kerusakan dan ketidak-adilan yang sebenarnya di dalam akal pikir kita ■
Hariadi Kartodihardjo.
Pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB dan UI.
72 % Hutan Asli Indonesia telah Hilang, STOP It !!!
Kekayaan alam paling melimpah dan wujud nyatanya di depan mata kita , mulai raib pelan-pelan. Sedikit review dan pembahasan yang akan dipaparkan dari Walhi ini mungkin bisa membuat kita terhenyak dan menjadi sadar. Peduli akan alam, peduli akan hutan dan peduli tentang lingkungan. Temans, mari kita sebarkan info ini dan dukung kelestarian alam.
Pada tanggal 4 Februari 2008, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 2 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan. PP tersebut membuka peluang pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan, infrastruktur telekomunikasi dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun.
Secara ringkas, PP tersebut merupakan produk turunan dari Perpu No 1/2004 yang memberikan izin bagi usaha pertambangan untuk melakukan aktivitasnya di atas hutan lindung. Perpu yang kemudian diperkuat dengan Keppres No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan Yang Berada di Kawasan Hutan, dan bersama DPR kemudian menetapkannya menjadi UU No 19 tahun 2004.
Dalam banyak kajian disebutkan bahwa UU No. 19/2004 tentang penetapan Perpu No.1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang tidak memenuhi syarat sebagai suatu produk perundang-undangan, merupakan bentuk tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan (detournement de pouvoir) dan bertentangan dengan tata cara pembuatan perundang-undangan yang baik serta melanggar ketentuan konstitusi, pembukaan alinea 1,2 dan 3, pasal 1 ayat (1) dan (2)dan (3) ,pasal 20a, dan pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Pembukaan tambang di hutan jelas akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah yang luar biasa. Tidak saja terjadi pada kawasan yang dibuka namun juga pada kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Tidak kurang jalannya perekonomian di 25 kabupaten/kota akan terganggu dan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap jutaan penduduk pada kawasan tersebut. Nilai kerugian yang tercipta jauh lebih besar dibanding keuntungan jangka pendek yang didapat.
Secara pasti, PP ini akan memuluskan pemusnahan lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang akan dilakukan oleh 13 perusahaan. PP yang tidak menyebut sama sekali bahwa aturan ini ditujukan kepada 13 perusahaan yang ada sehingga berpotensi untuk memuluskan jalan bagi 158 perusahaan tambang lainnya untuk mengobrak abrik 11,4 juta hektar hutan lindung. Semuanya bisa dilakukan dengan hanya membayar Rp. 300/m2.
Hingga disini, terjadi ketidak konsistenan Pemerintah Indonesia. Dalam pertemuan para pihak di Bali (UNFCC) pemerintah telah mendeklarasikan niatnya menjadi pionir dalam penurunan emisi global dengan melakukan penyelamatan kawasan hutan. Sementara dengan PP ini, pemerintah justru melanjutkan blunder pemerintah sebelumnya dengan memfasilitasi penghancuran hutan lindung, dengan biaya yang bahkan lebih murah dari sepotong pisang goreng. PP ini keluar dikala presiden punya wewenang menyelamatkan hutan alam indonesia tersisa, namun tidak dilakukannya!
WALHI, Serikat Perempuan, Jatam, Sawit Watch dan organisasi lingkungan lainnya meminta Pemerintah untuk membatalkan PP No 2/2008 sekaligus melakukan Regulatory Impact Assesment terhadap kebijakan yang memperbolehkan aktivitas penambangan di hutan lindung.
Informasi lebih lanjut tentang PP no 2/2008 dan berbagai peraturan atau ulasan terkait bisa dilihat di www.walhi.or.id, www.jatam.org atau www.rullysyumanda.org
Rehabilitasi lahan & hutan capai 13,66 juta ha
June 19th, 2009 by agroindustriSenin, 15/06/2009 20:27 WIB
oleh : Erwin Tambunan
oleh : Erwin Tambunan
JAKARTA bisnis.com): Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Dephut Indriastuti mengungkapkan kawasan lahan dan hutan kritis yang perlu direhabilitasi mencapai 13,66 juta ha.
Gerakan Rehabilitasi lahan (Gerhan) Dephut sejak 2003 hingga 2008 telah merehabilitasi hutan kritis seluas 3 juta ha.
“Jangka waktu 2010-2014, Dephut menargetkan merehabilitasi lahan kritis seluas 3 juta ha yang difokuskan pada lahan konservasi,” ujar Indriastuti di sela-sela jumpa pers tentang Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Dunia hari ini.
Pada 2010, lanjutnya, Dephut menargetkan merehabilitasi hutan kritis seluas 100.000 ha dengan menggunakan dana Rp500 miliar. Fokusnya juga pada lahan konservasi. Hingga akhir 2008, realisasi Gerhan mencapai 78,5% dengan luasan 2,4 juta ha dari target 3 juta ha.
Indri menjelaskan penanggulangan lahan kritis tidak hanya dilakukan dengan program Gerhan, melainkan juga melalui pembenahan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis. Ego sektoral Pengelolaan DAS yang salah dapat mengakibatkan kerugian besar bagi pemerintah dan masyarakat yang merasakan langsung akibatnya.
Dia mencontohkan salah satu pengelolaan DAS yang salah akibat ego sektoral masing-masing departemen terjadinya sedimentasi di waduk Saguling yang setiap tahunnya menimbulkan kerugian Rp30 triliun/tahun.
Pengelolaan DAS merupakan tanggung jawab sejumlah departemen, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan dan Departemen Dalam Negeri.
“Akibat pengelolaan DAS yang salah, kerugian banyak diderita masyarakat seperti banjir atau bencana alam lainnya, pengelolaan DAS masih ego sektoral yang akibatkan kerugian,” katanya. (tw)
http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribi…
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
Posted in Kehutanan | No Comments »
7,3 Juta ha tanah terlantar di luar kawasan hutan
May 29th, 2009 by agroindustriKamis, 28/05/2009 18:51 WIB
oleh : Erwin Tambunan
JAKARTA bisnis.com): Kepala BPN Joyo Winoto mengutarakan sebanyak 7,3 juta ha tanah terlantar di luar kawasan hutan.
JAKARTA bisnis.com): Kepala BPN Joyo Winoto mengutarakan sebanyak 7,3 juta ha tanah terlantar di luar kawasan hutan.
“Dari jumlah itu sebanyak 1,9 juta ha merupakan tanah yang dilengkapi legalitas berupa Hak Guna Usaha [HGU] yang dimiliki sejumlah perusahaan, tapi ditelantarkan para pengelolanya,” ujarnya.
Pemerintah, katanya, telah berupaya melegislasi kepemilikan tanah masyarakat di luar kawasan hutan dengan menerbitkan sertifikat seperti halnya pada 2005 diperkirakan mencapai 31% dari jumlah tanah yang ada di Indonesia.
Namun pada 2004, pelaksanaan legislasi surat tanah milik masyarakat itu mencapai 733.000 sertifikat. Namun pada 2008, melonjak jadi 4,6 juta sertifikat, naik 700%. “Hingga sekarang ini, jumlah tanah masyarakat yang memiliki sertifikat mencapai 52%. Jumlah persisnya, berapa banyak, saya belum bisa memberikan datanya sekarang,” katanya.
Joyo menekankan perlunya percepatan legislasi pertanahan secara nasional. Banyak persoalan tanah yang belum terselesaikan.
“Dalam catatan saya, dewasa ini tercatat 7461 konflik pertanahan di seluruh Indonesia yang belum terselesaikan,” katanya.
Namun Joyo tidak merinci latar belakang konflik pertanahan tersebut. Namun, katanya, BPN berupaya mempercepat program Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) yang merupakan program khusus BPN memberikan pelayanan pembuatan seritfikat tanah bagi masyarakat dengan menggunakan mobil dilengkapi dengan instrument Teknologi Informasi. (tw)
http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribi…
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
Posted in Kehutanan | No Comments »
Perubahan RTRWP terbentur kebijakan Dephut
May 22nd, 2009 by agroindustriRabu, 20/05/2009 19:53 WIB
oleh : Erwin Tambunan
oleh : Erwin Tambunan
JAKARTA bisnis.com): Menhut MS Kaban mengungkapkan sebanyak 12 Pemprov yang mengajukan permohonan mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum selesai karena terbentur kebijakan Dephut.
“Kami maunya daerah juga berpikir tak semuanya bisa diselesaikan karena usulan mereka banyak bertabrakan. Janganlah minta policy saja dari pusat, mereka juga harus tahu Dephut punya kewenangan untuk jaga dan pertahankan kawasan hutan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR hari ini.
Tujuh di antara ke 12 Pemprov yang mengajukan permohonan mengubah RTRWP itu adalah Pemprov Kalteng, Bengkulu, Jambi, Riau, Nangroe Aceh Darussalam, Sumbar dan Maluku.
“Banyak permasalahan pada usulan perubahan fungsi dan status kawasan hutan yang diajukan pemerintah daerah, terutama usulan daerah pada kawasan hutan yang sudah dikelola oleh pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Hutan Alam (IUPHHK-HA),” katanya.
Dia juga menekankan perlunya terobosan hukum yang bisa menyelesaikan masalah RTRWP ini. “Dephut berprinsip jumlah kawasan hutan tetap dipertahankan, usulan daerah untuk melepaskan kawasan hutan memang banyak pada areal yang ada izin sah, itu masalahnya, jadi terobosan hukum itu memang perlu,” tambahnya.
Kaban menjelaskan usulan dan rancangan RTRWP dari sejumlah Pemprov itu akan mengurangi kawasan hutan dan budidaya kehutanan. Misalnya di Kaltim terjadi pengurangan areal seluas 1,4 juta ha kawasan budidaya kehutanan yang diperkirakan mencapai 21,07%, sementara itu di Kalbar terjadi pengurangan kawasan hutan 8,65%.
Selain itu, lanjut Kaban, di Sumbar telah terjadi pengurangan kawasan budidaya kehutanan 11,4%. Kawasan budidaya kehutanan di Riau berkurang 14,4%, Bengkulu 9,34% dan Jambi 4,9%.
Sebelumnya Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan rancangan RTRWP dibahas tidak hanya oleh Departemen Pekerjaan Umum melainkan juga departemen teknis lainnya sehingga hasil peraturan itu juga tidak bersifat sektoral. (tw)
Posted in Kehutanan | No Comments »
Dewan Kehutanan tak punya hak istimewa
May 8th, 2009 by agroindustriKamis, 07/05/2009 10:42 WIB
oleh : Sonny Majid
oleh : Sonny Majid
JAKARTA bisnis.com): Walhi Kalimantan Timur menilai pembentukan Dewan Kehutanan Daerah (DKD) oleh pemprov Kaltim tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan kehutanan.
Eksekutif daerah Walhi Kaltim Isal Wardhana mengatakan dalam proses kerjanya DKD tidak diberikan hak istimewa untuk mempengaruhi kebijakan kehutanan, terutama dalam upaya tindakan penyelamatan hutan.
“Kemampuannya hanya memberikan rekomendasi. Bagaimana mungkin lembaga sekelas DKD tidak memiliki legalitas dari pemerintah,” ujarnya kepada Bisnis saat dihubungi melalui sambungan telepon hari ini.
Menurut dia, hal itu menjadikan lembaga tersebut hanya sebagai forum berkumpul. Produk berbentuk rekomendasi itu tidak memberikan jaminan menjadi acuan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, terlebih untuk Dinas Kehutanan.
Keraguan Walhi bercermin dari keberadaan DKN yang sampai saat ini belum melakukan gebrakan dalam perubahan kebijakan kehutanan, khususnya pada substansi UU Pokok Kehutanan.
“Saya khawatir justru DKD dimanfaatkan sebagai lembaga yang dibentuk justru untuk memback-up eksploitasi hutan,” paparnya.
Pasalnya, kata dia, di dalam lembaga itu terdapat unsur swasta dan pemerintah yang paling berkonstribusi besar terhadap kerusakan hutan. (tw)
http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribi…
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
Posted in Kehutanan | No Comments »
Anggaran penyempurnaan reboisasi Rp100 miliar
March 12th, 2009 by agroindustriKamis, 05/03/2009 17:45 WIB
oleh : John Andhi Oktaveri
JAKARTA bisnis.com): Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp100 miliar untuk menyempurnakan reboisasi melalui proses penyemaian bibit lewat udara (aeroseeding) yang dimulai pada 2006.
Menhut MS Kaban mengatakan pelaksanaan aeroseeding itu akan dilakukan di sejumlah wilayah yang sulit dijangkau melalui proses reboisasi konvensional atau penanaman biasa. Beberapa provinsi yang akan menjalani program reboisasi itu termasuk Sumut, Sumbar, Jatim, Sulsel dan Sulbar.
“Pemerintah akan menyempurnakan pelaksanaan aeroseeding di beberapa provinsi di Indonesia dengan anggaran yang ditetapkan Rp50 miliar-Rp100 miliar dengan target jangkauan 150.000 sampai 200.000 hektare,” ujarnya seusai rapat soal rehabilitasi hutan yang dipimpin Wapres Jusuf Kalla hari ini
Kaban mengatakan Wapres meminta program aeroseeding tersebut dilanjutkan dan dipercepat pelaksanaannya karena dinilai lebih efisien dan efektif. Menurut Kaban, melalui proses aeroseeding, tingkat penyebaran bibit akan lebih cepat di samping daya jangkau penyebaran yang lebih luas. Bahkan dari sisi biaya, proses itu juga lebih hemat dari sistem konvensional.
Dia mengatakan sejak 2006, wilayah Nganjuk, Jatim telah dijadikan model penanaman lewat aeroseeding dengan menggunakan tanaman jenis Trembesi dan Sengon Buto dengan berat 4,5 ton. Namun untuk masa datang jenis bibit pohon yang akan disemai akan beraneka ragam sesuai kondisi daerah masing-masing.
Terkait dengan tingkat keberhasilan aeroseeding pada 2006, Kaban hanya menjelaskan bahwa program tersebut masih dalam penelitian. Namun dari luas lahan 350 meter persegi, jumlah pohon yang tumbuh mencapai 22 batang.
“Keberhasilannya terus dalam pengamatan kita, tapi dari sebaran benih 2006, ada 22 batang yang tumbuh dengan luas 350 m2,” katanya saat konferensi pers bersama Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, Indriastuti dan Bupati Nganjuk Taufiqurahman. (tw)
bisnis.com
.links { font-family: Verdana, Helvetica, sans-serif; color: #004477; text-decoration: none; } .links:hover { font-family: Verdana, Helvetica, sans-serif; color: #004477; text-decoration: underline; } .normal { font-family: Verdana, Helvetica, sans-serif; font-size: 8pt; color: #000000 } URL :http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id106835.html
© Copyright 1996-2009 PT Jurnalindo Aksara Grafika
Posted in Kehutanan | No Comments »
Permasalahan diBidang Perikanan, Kehutanan, Perkebunan, dan Industri (Kab. Serdang Bedagai)
January 27th, 2009 by agroindustri- Permasalahan Perikanan: 1). Perda yang mendukung tentang pelaksanaan penarikan retribusi izin dari nelayan, petani dan pengolahan ikan belum ada; 2) Struktur armada penangkapan ikan yang masih didominasi skala kecil/tradisional, karena kemampuan Nelayan memanfaatkan teknologi masih rendah; 3) Masih rendahnya kemampuan Nelayan dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan sesuai dengan permintaan konsumen dan standard mutu; 4) Keterbatasan fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Balai Benih Ikan (BBI) yang ada; 5) Banyaknya praktek illegal, unregulated, unreported fishing yang terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di laut masih lemah.
- Permasalahan Kehutanan: Rendahnya angka kecukupan luas hutan dan penutupan hutan, hanya meliputi angka 3,57 persen kawasan hutan dengan kondisi kritis, dibawah jauh dari angka minimal 30 persen (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
- Permasalahan Perkebunan: 1) Komoditi Kakao: Mutu produksi kakao rakyat umumnya masih rendah dikarenakan sifat klon dari benih yang ditanam kurang baik dan proses panen (pengeringan) kurang optimal, harga jual produksi biji kako masih rendah, tingginya prosentase kehilangan produksi karena serangan hama dan penyakit terutama hama penggerek buah kakao, penerapan teknologi pemulihan tanaman kako dengan cara okulasi masih terkendala oleh keterbatasan bahan entries dari klonal tanaman yang baik, Terbatasnya permodalan dalam usaha pengembangan kakao. 2) Komoditi Kelapa Sawit dan Karet: Mutu benih kurang berkualitas akibat keterbatasan modal membeli benih bersertifikat, Langkanya ketersediaan pupuk yang dibutuhkan, Harga jual setempat pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga di daerah lain.
- Permasalahan Industri: Masih terbatasnya SDM yang dimiliki para industri kecil dan home industri baik dalam penguasaan teknologi maupun managemen, terbatasnya permodalan yang dimiliki industri kecil dan home industri untuk mengembangkan usahanya, sulitnya pemasaran hasil produk usaha
Kartini dan Keprihatinan Kesehatan ibu
…logi kedokteran saat ini, seharusnya perempuan hamil serta perempuan melahirkan dan pascapersalinan tidak perlu meninggal karena melahirkan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan adalah memperbaiki status kesehatan perempuan yang masih rendah dan terpuruk, di antaranya dengan mencantumkan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesehatan secara umum. Dengan demikian, juga merupakan… Continue reading
Posted in Pelayanan Kesehatan Obtetri Ginekologi Tagged angka kematian ibu, harapan hidup, ibu kartini, kehamilan, meninggal dunia, proses persalinan, teknologi kedokteran, tenaga kerja Leave a comment
22 Mar 2011 ... Artikel dengan judul Penegakan Hukum Kehutanan di ArtikelTerbaru.com. ... Politik hukummasalah kehutanan yang berkembang saat ini telah ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/kehutanan/penegakan-hukum-kehutanan-2011520.html |
13 Mar 2011 ... Artikel dengan judul Kegiatan Didalam Bidang Kehutanan di ... Sebab, hutan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah manusia dan ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/kehutanan/kegiatan-didalam-bidang-kehutanan-2011270.html |
1 Jun 2011 ... Artikel dengan judul Masalah Baru Ekonomi Lingkungan Hidup di ArtikelTerbaru.com . Artikelmengenai Masalah Baru Ekonomi Lingkungan Hidup ini ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/ekonomi/masalah-baru-ekonomi-lingkungan-hidup-20111986.html |
19 Apr 2011 ... Artikel dengan judul Pengembangan Pelayanan Keperawatan Profesional di ... dengan menggunakan metode menyelesaikan masalah secara ilmiah ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/kesehatan/keperawatan/pengembangan-pelayanan-keperawatan-profesional-20111187.html |
26 Mar 2011 ... Artikel dengan judul Dampak Kenaikan Harga BBM Pada Kemiskinan di ArtikelTerbaru .com.... Hukum · Kehutanan · Kesehatan .... salah satu permasalahan yang cukup problematik adalah masalahkoordinasi antar kementerian ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/sosial-politik/dampak-kenaikan-harga-bbm-pada-kemiskinan-2011616.html |
13 Apr 2011 ... Artikel mengenai Pembagian Ilmu Ekonomi ini mempunyai referensi yang valid. ... atau standar yang tepat untuk mengatasi masalah ekonomi tertentu. .... MAKALAH KEHUTANAN DARI SEGI PEREKONOMIAN INDONESIA, masalah- masalah ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/ekonomi/pembagian-ilmu-ekonomi-20111083.html |
14 Apr 2011 ... Artikel dengan judul Contoh Masalah Perawat dan Sejawat di ArtikelTerbaru.com. Artikelmengenai Contoh Masalah Perawat dan Sejawat ini ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/kesehatan/keperawatan/contoh-masalah-perawat-dan-sejawat-2-20111060.html |
Kumpulan artikel terbaru yang tersaji secara informatif dalam ArtikelTerbaru.com 7. ... Namun, bukan berarti keduanya bebas dari masalah. Read the full story ... Read the full story. Posted in Kehutanan0 Comments ... artikelterbaru.com artikelterbaru.com/page/7 |
1
2
3
4
5
6
7
8
Penegakan Hukum Kehutanan
…g dianggap kontroversial ini diekspos, bahkan telah theksploitasi sedemikian rupa, sehingga terbentuklah opini di tengah masyarakat bahwa ada konspirasi di dalam putusan pembebasan Adelin Lis. Hakim disalahkan, bahkan Menteri Kehutanan MS Kaban dicerca karena dianggap ikut membela Adelin Lis. Wajar-wajar saja suatu putusan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Namun, apa pun tanggapan itu hanyalah bagian dari kontrol publik, kemandirian ha…
Program Kebijakan Dalam Pembangunan Kehutanan
…diperhatikan karena penegelolaan hutan secara menyeluruh tidak akan berjalan bila secara ekologis tidak diperhatikan, karena keanekaragaman yang ada sangat tinggi. Untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran, maka pembangunan kehutanan memerlukan adanya suatu program, antara lain sebagai berikut. a. Pemantapan Kawasan Milan dan Peningkatan Produldivitas Hutan Alam Pemantapan kawasan hutan merupakan kegiatan prakondisi yang dilaksanakan dalam ra…
Lahan Hutan Swasta Di Pasifik Barat Laut
…engaturan federal itu telah gagal, sebagaimana pula beberapa usaha dalam tahun 1940-an dan tahun 1950-an. (Clary, 1986) Tetapi pemerintah negara bagian memang telah mulai meloloskan undang-undang yang mengatur praktek-praktek kehutanan di atas lahan hutan yang dikuasai swasta dan negara bagian maupun pemerintah setempat. Antara tahun 1837 dan tahun 1955,15 negarabagian mengesahkan undang-undang praktek-praktek kehutanan dengan ketentuan-ketentuan…
Kegiatan Didalam Bidang Kehutanan
…ngan pola fungsi di lapangan. Misalnya, perlindungan hutan dan pelestarian alam dalam spesifikasinya adalah perlindungan hutan, kawasan pelestarian alam serta kawasan suaka alam dan konservasi flora-fauna. Kegiatan di bidang kehutanan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Pengukuhan Hutan Pengukuhan hutan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan suatu wilayah tertentu yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan untuk memperoleh kepast…
Mesin Robotika
…i penguasa dunia, semoga saja dia tidak berumur panjang. Namun robot adalah sarana untuk membangun peradaban yang lebih maju dan memberikan kemudahan bagi manusia sebagai penciptanya. Dengan hasil demikian maka seluruh kajian tentang robotika menjadi lebih memasyarakat diseluruh elemen masyarakat. Dan bahkan menjadi momok yang harus ditakuti. Robotika sebagai Ikon dan Kajian Keilmuan Robot adalah simbol dari kamajuan dari sebuah teknologi. karen…
Pujangga Baru
…enerbitan selanjutnya subjudulnya adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas kesusastraan dan bahasa meluas ke masalah-masalah kebudayaan umum sejalan dengan maikin maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan indonesia baru. Hal itu dapat dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan mom…
Konsep Dokumentasi Kebidanan
…ngka usaha menegakkan hukum dan penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan, karena semua catatan tentang pasien merupakan dokumentasi resmi dan bernilai hukum. Hal tersebut sangat bermanfaat apabila dijumpai suatu masalah yang berhubungan dengan profesi bidan, di mana bidan sebagai pemberi jasa dan pasien sebagai pengguna jasa, maka dokumentasi diperlukan sewaktu-waktu, karena dapat digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, maka d…
Jenis-Jenis Sastra Hikmat
Biasanya ada dua jenis utama tulisan hikmat yang dapat dibedakan, yaitu: a. hikmat dalam bentuk peribahasa, ucapan singkat dan penuh arti yang menyatakan ketentuan untuk mendapatkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan atau yang meringkaskan pengalaman dan membuat pengamatan yang tajam mengenai kehidupan; dan b. hikmat spekulatif yang bersifat perenungan atau pikiran, berupa monolog, dialog atau karangan yang menyelidiki masalah-masalah pokok …