Kekayaan alam paling melimpah dan wujud nyatanya di depan mata kita , mulai raib pelan-pelan. Sedikit review dan pembahasan yang akan dipaparkan dari Walhi ini mungkin bisa membuat kita terhenyak dan menjadi sadar. Peduli akan alam, peduli akan hutan dan peduli tentang lingkungan. Temans, mari kita sebarkan info ini dan dukung kelestarian alam.
Pada tanggal 4 Februari 2008, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 2 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan diluar Kegiatan Kehutanan. PP tersebut membuka peluang pembukaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kegiatan pertambangan, infrastruktur telekomunikasi dan jalan tol dengan tarif sewa seharga Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter persegi per tahun.
Secara ringkas, PP tersebut merupakan produk turunan dari Perpu No 1/2004 yang memberikan izin bagi usaha pertambangan untuk melakukan aktivitasnya di atas hutan lindung. Perpu yang kemudian diperkuat dengan Keppres No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan Yang Berada di Kawasan Hutan, dan bersama DPR kemudian menetapkannya menjadi UU No 19 tahun 2004.
Dalam banyak kajian disebutkan bahwa UU No. 19/2004 tentang penetapan Perpu No.1 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang tidak memenuhi syarat sebagai suatu produk perundang-undangan, merupakan bentuk tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan (detournement de pouvoir) dan bertentangan dengan tata cara pembuatan perundang-undangan yang baik serta melanggar ketentuan konstitusi, pembukaan alinea 1,2 dan 3, pasal 1 ayat (1) dan (2)dan (3) ,pasal 20a, dan pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Pembukaan tambang di hutan jelas akan menimbukan kerusakan permanen. Aktivitas penambangan memiliki daya musnah yang luar biasa. Tidak saja terjadi pada kawasan yang dibuka namun juga pada kawasan hilir yang ditempati oleh komunitas-komunitas masyarakat. Tidak kurang jalannya perekonomian di 25 kabupaten/kota akan terganggu dan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap jutaan penduduk pada kawasan tersebut. Nilai kerugian yang tercipta jauh lebih besar dibanding keuntungan jangka pendek yang didapat.
Secara pasti, PP ini akan memuluskan pemusnahan lebih dari 900 ribu hektar hutan lindung di Indonesia yang akan dilakukan oleh 13 perusahaan. PP yang tidak menyebut sama sekali bahwa aturan ini ditujukan kepada 13 perusahaan yang ada sehingga berpotensi untuk memuluskan jalan bagi 158 perusahaan tambang lainnya untuk mengobrak abrik 11,4 juta hektar hutan lindung. Semuanya bisa dilakukan dengan hanya membayar Rp. 300/m2.
Hingga disini, terjadi ketidak konsistenan Pemerintah Indonesia. Dalam pertemuan para pihak di Bali (UNFCC) pemerintah telah mendeklarasikan niatnya menjadi pionir dalam penurunan emisi global dengan melakukan penyelamatan kawasan hutan. Sementara dengan PP ini, pemerintah justru melanjutkan blunder pemerintah sebelumnya dengan memfasilitasi penghancuran hutan lindung, dengan biaya yang bahkan lebih murah dari sepotong pisang goreng. PP ini keluar dikala presiden punya wewenang menyelamatkan hutan alam indonesia tersisa, namun tidak dilakukannya!
WALHI, Serikat Perempuan, Jatam, Sawit Watch dan organisasi lingkungan lainnya meminta Pemerintah untuk membatalkan PP No 2/2008 sekaligus melakukan Regulatory Impact Assesment terhadap kebijakan yang memperbolehkan aktivitas penambangan di hutan lindung.
Informasi lebih lanjut tentang PP no 2/2008 dan berbagai peraturan atau ulasan terkait bisa dilihat di www.walhi.or.id, www.jatam.org atau www.rullysyumanda.org